Oleh : Ni Putu Diva Iswarani
Indonesia sebagai negara yang dikelilingi oleh lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik, memiliki potensi bencan alam yang besar. Beberapa pergerakan dari lempeng – lempeng tersebutlah yang mengakibatkan berbagai bencana alam. Adapun Indonesia juga memiliki cincin api, yaitu jejeran gunung berapi yang berada di Indonesia. Banyaknya gunung berapi ini dapat terjadi karena adanya penumpukan anatara lempeng Eurasia dan Indo Australia. Saking banyaknya pada Pulau Sumatera dapat ditemui gunung berapi setiap 50 kilometer, dan di Pulau Jawa dapat kita temui gunung berapi setiap 100 kilometer. Indonesia juga rawan bencana karena berada di garis ekuataor atau khatulistiwa. Negara yang berada di kawasan itu biasanya diterpa El Nino dan La Nina. Dengan besarnya potensi bencana alam yang dimiliki Indonesia, masyarakat mau tak mau harus hidup dengan dihantui hal tersebut.
Alam sering kali memberikan kejutan yang tak terduga kepada manusia. Hal ini membuat manusia harus bersiap dengan setiap kejutan yang diberikan. Merujuk pada data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada tahun 2021 Indonesia mengalami 3.093 bencana alam. Angka ini turun 33,5% dari tahun 2020 yang mencapai 4.649 bencana alam. Walaupun angka kejadian pada 2021 menurun, namun dampak dari bencana alam pada tahun 2021 meningkat. Tahun 2021 bencana alam menelan korban jiwa sebanyak 665 jiwa, 14.611 orang terluka, dan 8.426.609 orang menderita. Dari sekian banyak bencana alam yang terjadi di Indonesia, banjir meraih peringkat pertama dengan 1.298 kejadian pada tahun 2021.
Bukan rahasia lagi bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang selalu kerap kali terkena bencana alam banjir. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya bencana banjir. Salah satunya yaitu kejutan dari alam berupa hujan, apabila hujan terjadi dengan intensitas yang tinggi. Apabila hal ini terjadi dan tidak ada daerah resapan yang menyerap air hujan, maka banjir pun akan terjadi. Banjir juga dipengaruhi oleh aktivitas – aktivitas manusia yang banyak menimbulkan sampah. Yang nantinya akan menyumbat saluran – saluran air, dan menyebabkan banjir.
Berdasarkan data BNPB total kerugian akibat banjir dan longsor bisa mencapai Rp 25 triliun setiap tahun. Hal ini tentunya akan menimbulkan kerugian yang besar apabila terjadi berulang – ulang. Seperti halnya yang terjadi pada daerah ibu kota Jakarta, yang setiap tahunnya pasti tergenang banjir. Bencana alam seperti banjir mungkin tidak bisa dihindari, namun yang dapat dilakukan adalah mengelola dan mencegah agar bencana tersebut tidak menimbulkan kerugian yang besar. Karena sebenarnya jika meniti cuaca, beberapa keadaan seperti hujan besar tidak dapat dihindarkan, dan akan terjadi berulang.
Mitigasi bencana haruslah dipikirkan matang – matang untuk menekan kerugian yang akan ditimbulkan. Sesungguhnya mitigasi bencana sudah lama dikenal oleh masyarakat, namun sering kali kita temui dikemas dengan mitos – mitos yang lebih mudah dipercayai dan dimengerti masyarakat. Pada zaman modern ini masyarakat kurang mempercayai mitos – mitos tersebut dan melupakannya. Contohnya seperti mitos lama di Bali bahwa jika membangun rumah di bantaran sungai haruslah sejauh satu rebahan pohon kelapa. Masyarakat Bali juga memiliki mitos penjaga sungai dimana masyarakat tidak diperbolehkan membangun rumah tinggal disekitar area yang dianggap sakral. Hal ini juga sebenarnya adalah salah satu mitigasi bencana banjir, apabila banjir terjadi dan air meluap, maka masyarakat sekitar tidak akan langsung terdampak.
Hal tersebut juga sebenarnya telah di modernisasi oleh pemerintah, dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 38 mengenai sungai. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa sungai harus memiliki sempadan selebar 3 – 100 meter. Sempadan merupakan garis maya di kiri dan kanan palung sungai yang ditetapkan sebagai batas perlindungan sungai. Lebar sempadan ditentukan melalui daerah sekitar sungai dan juga bertanggul atau tidak bertanggulnya sungai tersebut. Selain sebagai batas perlindungan, sempadan juga berfungsi sebagai tempat hidupnya flora dan fauna, serta menambah keasrian lingkungan sekitar sungai karena ditumbuhi pepohonan.
Saat ini sulit menemui sungai yang memiliki sempadan, apalagi di kota – kota besar seperti Jakarta. Padatnya pertumbuhan penduduk dan lahan yang sempit, mau tak mau membuat masyarakat membangun tempat tinggal dimanapun, bahkan sering kali illegal. Pada saat inilah sebenarnya peran pemerintah diperlukan untuk merevitalisasi daerah – daerah yang seharusnya dibuat sempadan. Tentu saja akan ada pihak yang kontra apabila pemerintah merevitalisasi daerah tersebut. Namun apabila ditelaah lebih dalam, kerugian yang ditimbulkan setiap tahunnya apabila masyarakat memaksa untuk tinggal di bantaran sungai. Beberapa kompensasi seperti pemberian tempat tinggal rusun (rumah susun), diberikan pemerintah untuk masyarakat yang rumahnya digusur dari bantaran sungai. Disinilah diperlukan tindakan tegas pada masyarakat yang bandel dan tetap tinggal di bantaran sungai. Tentu saja sulit untuk merevitalisasi daerah bantaran sungai yang telah dijadikan pemukiman oleh masyarakat, namun apabila mitigasi bencana dilakukan, kerugian akibat bencana pun dapat ditekan. (dis)